Solusi Aqiqah, Jasa/Paket Aqiqah dan Catering
Asshidiq Aqiqah juga telah memperoleh sertifikasi HALAL dari LPPOM-MUI nomor 00340071061214.
Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga dengan
Nomor 443.50/101/LHS-JB/DINKES/V/2015 dan Golongan A3 dari DINAS KESEHATAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
Asshidiq Aqiqah juga telah memperoleh sertifikat dari lembaga internasional yatu ISO 9001:2015 dengan nomor : QMS42725.
Menjadi orang yang bersyukur atau kufur (ingkar)
menghidupkan sunah Nabi Muhammad SAW dalam meneladani Nabi Ibrahim AS, tatkala Allah SWT menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail AS
Perlindungan dari setan yang dapat mengganggu anak yang terlahir
Tebusan bagi anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari akhir
Bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah SWT dengan lahirnya sang anak
Memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara masyarakat
Merupakan sarana untuk merealisasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan menghapuskan gejala kemiskinan di dalam masyarakat. Misalnya, dengan adanya daging yang dikirim kepada fakir miskin.
*) Dan secara khusus, tujuan dan manfaat aqiqah adalah merupakan bentuk syukur atas anugerah yang diberikan Allah kepada seorang Muslim, dengan kehadiran buah hati dalam kehidupan keluarganya
Disebutkan dalam hadis dari Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani).
Ulama berbeda pendapat tentang makna kalimat ‘Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya’.
Berikut rincian perbedaan keterangan ulama tentang makna hadis,
Pendapat Pertama, syafaat yang diberikan anak kepada orang tua tergadaikan dengan aqiqahnya. Artinya, jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tua tidak mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat.
Pendapat ini diriwayatkan dari Atha al-Khurasani – ulama tabi’in – dan Imam Ahmad. Al-Khithabi menyebutkan keterangan Imam Ahmad.
Menurut Imam Ahmad, hadis ini berbicara mengenai syafaat. Yang beliau maksudkan, bahwa ketika anak tidak diaqiqahi, kemudian dia meninggal masih bayi, tidak bisa memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya. (Ma’alim as-Sunan, 4/285)
Semetara keterangan dari Atha’ al-Khurasani diriwayatkan al-Baihaqi dari jalur Yahya bin Hamzah, bahwa beliau pernah bertanya kepada Atha’, tentang makna ‘Anak tergadaikan dengan aqiqahnya.’ Jawab Atha’,
“Dia (ortu) tidak bisa mendapatkan syafaat anaknya.” (Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, 9/299)
Pendapat Kedua, keselamatan anak dari setiap bahaya itu tergadaikan dengan aqiqahnya. Jika diberi aqiqah maka diharapkan anak akan mendapatkan keselamatan dari mara bahaya kehidupan. Atau orang tua tidak bisa secera sempurna mendapatkan kenikmatan dari keberadaan anaknya. Ini merupakan keterangan Mula Ali Qori (ulama madzhab hanafi). Beliau mengatakan,
Tergadaikan dengan aqiqahnya, artinya jaminan keselamatan untuknya dari segala bahaya, tertahan dengan aqiqahnya. Atau si anak seperti sesuatu yang tergadai, tidak bisa dinikmati secara sempurna, tanpa ditebus dengan aqiqah. Karena anak merupakan nikmat dari Allah bagi orang tuanya, sehingga keduanya harus bersyukur. (Mirqah al-Mafatih, 12/412)
Pendapat Ketiga, Allah jadikan aqiqah bagi bayi sebagai sarana untuk membebaskan bayi dari kekangan setan. Karena setiap bayi yang lahir akan diikuti setan dan dihalangi untuk melakukan usaha kebaikan bagi akhiratnya. Dengannya, aqiqah menjadi sebab yang membebaskan bayi dari kekangan setan dan bala tentaranya. Ini merupakan pendapat Ibnul Qoyim. Beliau juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah menjadi syarat adanya syafaat anak bagi orang tuanya.
Beliau mengatakan,
Status seseorang sebagai orang tua bagi si anak, bukan sebab dia mendapatkan syafaat. Demikian pula hubungan kerabat dan keluarga (tidak bisa saling memberi syafaat). Allah telah menegaskan,
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun (QS. Luqman: 33)
Kemudian, Ibnul Qoyim melanjutkan,
Karena itu, seseorang tidak bisa memberikan syafaat kepada orang lain pada hari kiamat, kecuali setelah Allah izinkan, untuk diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia ridhai. Sementara izin Allah dalam syafaat, tergantung dari tauhid dan kekuatan ikhlas dari orang yang mendapat syafaat itu. (Tuhfah al-Maudud, hlm. 73).
Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan tafsir hadis di atas,
Tergadai artinya tertahan, baik karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain… dan Allah jadikan aqiqah untuk anak sebagai sebab untuk melepaskan kekangan dari setan, yang dia selalu mengiringi bayi sejak lahir ke dunia, dan menusuk bagian pinggang dengan jarinya. Sehingga aqiqah menjadi tebusan untuk membebaskan bayi dari jerat setan, yang menghalanginya untuk melakukan kebaikan bai akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya. (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74)
Allahu a’lam.
PAKET JASA AQIQAH PRAKTIS NO.1 DI INDONESIA
Manfaat Sertifikasi ISO 9001: 2015 bagi perusahaan ini akan menekankan peningkatan berkelanjutan sesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan perusahaan itu sendiri. Implementasi proses Sertifikasi iso 9001:2015 bagi perusahaan secara efektif mengharuskan organisasi fokus pada proses bisnis. Manfaat sertifikasi ISO 9001: 2015 bagi organisasi mempersyaratkan proses pemantauan dan pengukuran kinerja dilakukan secara terus menerus.
Manfaat Implementasi sertifikasi ISO 9001: 2015 bagi perusahaan menyebabkan penilaian positif terhadap reputasi perusahaan. Sistem implementasi sertifikasi ISO 9001: 2015 menekankan pula proses bisnis yang focus pada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Alhamdullilahi Robbil’alamin pelaksanaan aqiqah baby Zac berjalan lancar tepat di hari ke 7 kelahirannya, dan ini berkat @Asshidiqaqiqah … Dengan keterbatasan waktu dan juga kondisi kesehatan aku yang masih dlm pemulihan pasca melahirkan, aku sangat terbantu sekali dengan adanya @asshidiqaqiqah yang memberikan pelayanan full service mulai dari pengadaan kambing berkualitas, penyembelihan sesuai syariat, jasa masak sampai dengan paket nasi box serta tidak lupa membantu penyalurannya juga ke panti2 asuhan yang membutuhkan… Pelayanannya benar2 berkualitas , aku dan suami sangat puas , walaupun pemesanan yang aku lakukan mendadak banget, tapi alhamdullilah tetep hasil kerjanya baik sekali…Makanannya enak dan penyalurannya pun bener2 terkoordinasi dg baik ke panti asuhan… Buat moms, yang baru lahiran dan mau meng-aqiqahkan anaknya , aku rekomendasikan @asshidiqaqiqah dijamin gak nyesel..
@sorayalarasat1
Alhamdullilah, sdh terlaksana acara Tasyakuran Aqiqah anak pertama kami, semoga Kenzo menjadi anak sholeh Aamiin Ya Rob 🙏🏻👶🏼💙
.
.
Terima kasih @asshidiqaqiqah sudah membantu, berkat bantuan @asshidiqaqiqah kami tdk terlalu repot krn kambing sudah di sembelih & di olah, terima beressss deh hehehe.. Sukses trs buat @asshidiqaqiqah 🙏🏻👶🏼💙
@adheayuanggraini
Setiap anak yang lahir itu tergadai dengan aqiqah-nya, disembelihkan hewan pada hari ke 7, dipotong rambutnya, dan diberi nama”. -HR. Ahmad dan Tirmidzi.
.
Dan Alhamdulillah kami sudah melaksanakannya. Segala puji bagi Allah dan Shalawat kepada baginda besar Muhammad SAW.Semoga kelak putri kecil kami
. .. “Annasya Azkayra Sheza” ..
.
akan tumbuh menjadi wanita sholehah dan berbakti kepada orangtuanya. Aamiin ? .
Terima kasih Allah, atas titipan dan amanah Mu kepada kami ?
.
.
MasyaAllah cantiknya anak mama pakai dress dari @babymalikashop ?
AbangZa makin ganteng pakai gamis dari @muarababyshop ?
Dan terima kasih yang selalu menjadi tempat pilihan kami untuk memilih hewan kurban @asshidiqaqiqah ?
@devii23dy
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang menjadi kebingungan anda memang wajar, yaitu apakah boleh seseorang menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri. Di satu sisi, ada pendapat yang mengatakan bahwa penyembelihan itu hanya disyariatkan untuk orang tua, sehingga si anak malah tidak perlu melakukannya. Namun di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan tidak mengapa bila seorang anak melakukan untuk dirinya sendiri.
Jadi setidaknya ada dua pendapat dalam hal ini, di mana para ulama, yang levelnya sudah sampai ke tingkat mujtahid betulan, masih berbeda pendapat. Kalau kita buka kitab fiqih, maka kita akan mendapatkan rincian perbedaan pendapat itu.
Pendapat Pertama: Boleh Dilakukan
Ar-Rafi’i, ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi’iyah mengatakan apabila seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu.
Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, tidak mengapa.
Muhammad ibn Sirin berkata, “Seandainya saya tahu bahwa saya belum disembelihkan aqiqah, maka saya akan melakukannya sendiri.”
Al-Qaffal, salah seorang dari fuqaha mazhab Asy-Syafi’iyah juga memilih hal yang sama. Silahkan rujuk kitab Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari jilid 9 halaman 594-595.
‘Atha’ dan Al-Hasan berkata bahwa seseorang tidak mengapa bila melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
Pendapat Kedua: Tidak Perlu
Ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa tidak perlu dilakukan hal itu.
Alasannya, karena syariat aqiqah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada di pundak si anak.
Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr. (rujuk kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 646).
Jadi kesimpulannya, silahkan saja bila anda merasa ingin menyembelih hewan aqiqah untuk diri anda sendiri. Tidak masalah kalau memang ada rezekinya, asal tidak dipaksakan. Sebab hal itu ada dasarnya, setidaknya didukung oleh beberapa ulama.
Akan tetapi anda harus maklum dengan perkataan orang lain yang tidak setuju dengan sikap seperti itu. Karena memang ada mazhab Ahmad bin Hanbal yang agaknya kurang sepakat dengan pendapat itu.
Toh, keduanya hanyalah ijtihad yang nilai kebenarannya tidak pernah sampai ke level mutlak. Jadi kita boleh saling berbeda pendapat dengan cara yang beradab, santun, wajar, dan tetap menjaga nilai-nilai ukhuwah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hukum menyembelih hewan aqiqah itu sendiri adalah sunnah atau paing maksimal hanya sunnah muakkadah. Tidak pernah sampai ke tingkat wajib, kecuali dijadikan nadzar. Tapi nyaris jarang sekali orang yang bernadzar untuk aqiqah, kalau bukan karena suatu keadaan tertentu.
Selain itu, juga perlu dicamkan bahwa pada dasarnya yang disyariatkan untuk melakukannya adalah orang tua bayi yang bersangkutan. Bukan diri si bayi yang baru lahir.
Syariat Islam juga tidak mewajibkan kepadabayi ini bila sudah tua suatu hari nanti, untuk melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
Setiap anak terikat oleh aqiqahnya. Ia disembelihkan hewan pada hari ke tujuh kelahirannya, dicukur, dan diberi nama. (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Apalagi ada pendapat di kalangan ulama seperti Imam Malik yang mengatakan bahwa syariat untuk menyembelih hewan aqiqah akan segera mengalami expired begitu momentum 7 hari telah lewat.
Walau pun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bila di hari ketujuh belum memungkinkan untuk dilakukan, maka boleh dilakukan pada hari ke-14 atau ke-21.
Barangkali yang paling cocok dengan pendapat yang umumnya dipakai oleh bangsa kita adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyatakan tidak ada istilah expired date buat pelaksanaan aqiqah. Sehinngga sepanjang hayat masih sah kalau mau dilakukan.
Akan tetapi apakah hukumnya tetap harus dilaksanakan?
Para ulama itu tidak satu pun yang mengatakan harus, mereka hanya mengatakan hukum sah kalau dilakukan. Artinya, kalau pun tidak dilakukan, tentu tidak mengapa.
Kalau pun anda punya sedikit keluasan rezeki dan berniat mau melakukan penyembelihan aqiqah buat diri sendiri, maka pastikan beberapa hal bahwa penyembelihan hewan itu memang benar-benar bermanfaat.
Misalnya yang anda undang adalah orang-orang yang memang butuh makan, di mana mereka sehari makan tiga hari puasa. Karena memang tidak mampu dan dimiskinkan oleh sistem negara ini yang tidak jelas pertanggung-jawabanya.
Atau untuk para korban musibah bencana alam seperti banjir dan sebagainya. Di Jakarta ini banyak bencana seperti korban banjir dan sebagainya.
Pendeknya upayakan makanan itu jangan menjadi makanan yang paling jahat. Tahukah anda makanan yang paling jahat?
Makanan yang paling jahat adalah makanan walimah, yang lapar tidak diundang tapi yang kenyang malah diundang.
Ungkapan Syukur Dengan Sedekah Abadi
Kalau kita mau lebih cermat dan cerdas dalam mensyukuri nikmat yang Allah berikan, sebenarnya ada beberapa alternatif lain yang jauh akan lebih besar nilainya disisi Allah, ketimbang melakukan aqiqah.
Kami hendak sampaikan ini kepada Anda, karena teringat kejadian yang amat mirip dengan kasus Anda dan dialami oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika Allah SWT meluaskan rezeki beliau dalam bentuk mendapat jatah lahan kurma di daerah subur Khaibar. Seumur-umur, inilah rezeki yang paling besar yang pernah beliau terima.
Untuk menyampaikan rasa syukurnya, beliau pun mendatangi Rasulullah SAW untuk berkonsultasi. Maka Rasulullah SAW memberikan sebuah usulan yang nyaris tidak mungkin ditolak oleh Umar bin Al-Khattab.
Usulan nabi itu adalah agar Umar bin Al-Khattab selama-lamanya akan mendapatkan hasil pahala dari kebunnya itu. Beliau menyarankan agar harta itu diwaqafkan di jalan Allah. “Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”, demikian saran Nabi SAW.
Maka jadilah kebun itu kebun waqaf pertama dalam sejarah Islam. Maka Umar pun mengikrarkan kebun itu sebagai wakaf yang abadi, di mana hasil panennya diserahkan kepada baitulmal atau fakir miskin.
Inilah bentuk wakaf pertama dan sekaligus wakaf produktif pertama dalam sejarah syariah Islam.
Keunggulan wakaf ini adalah pahala yang terus menerus kita terima, berbeda dengan sedekah biasa, atau menyembelih qurban dan aqiqah yang pahalanya hanya sekali saja. Tapi dengan waqaf, anda bisa menerima pahala setiap kali ada orang yang mendapat manfaat dari harta yang tetap.
Wakaf Ilmu
Salah satu bentuk wakaf yang nyaris sudah ditinggalkan oleh umat ini adalah wakaf dalam bentuk ilmu agama.
Ilmu Agama?
Ya, ilmu agama. Ilmu agama inilah yang nyaris sudah hilang dari negeri kita. hari ini ada jutaan orang yang ingin menjalankan agama, tapi jarang sekali yang menjalankannya dengan ilmunya. Akibatnya, banyak orang yang salah jalan, sesat, tersesatkan dan salah arah.
Lalu kenapa kita tidak berwakaf di bidang ilmu agama?
Mungkin anda akan beralasan, wah saya bukan ulama pak ustadz, bagaimana mungkin saya berwakaf ilmu?
Anda tidak perlu jadi ulama dan ahli syariah dulu untuk bisa berwakaf ilmu. Sebab proses untuk bisa jadi ulama memang cukup panjang. Tapi anda tetap bisa ikut menyebarkan ilmu para ulama itu lewat berbagai buku dari para ulama itu untuk anda terbitkan.
Dan di zaman modern ini, kita bisa menerbitka tulisan dalam bentuk digital dan dipublish di internet. Buatlah sebuah situs yang online 24 jam, sehingga manusia seluruh dunia bisa mengakses ilmu-ilmu para ulama yang anda biayai penulisannya agar bisa online di situs tersebut.
Di tengah masyarakat Indonesia yang ternyata masih begitu awam terhadap sisi syariah Islam, wakaf ilmu secara online di internet akan menjadi sebuah persembahan yang teramat penting dan berharga.
Sayangnya, orang yang berpikir ke arah sana di negeri ini masih teramat sedikit, bahkan boleh dibilang tidak ada.
Maka seandainya sedikit rejeki anda itu dialokasikan untuk menerbitkan sebuah situs keIslaman, yang berisi konten-konten yang berguna untuk mendakwahkan agama Islam, maka tentu saja manfaatnya akan terasa ke seluruh dunia. Siapa saja yang mengakses situs itu dan mendapatkan manfaat, maka Allah SWT akan mengirimkan pahala kepada Anda sebagai pewaqafnya.
Semakin banyak orang yang mendapatkan manfaat dari harta waqaf yang tidak akan habis itu, semakin banyak pula anda menerima ‘transfer’ pahala dari mereka. Dan hal itu akan terus berlangsung seumur hidup, bahkan setelah nanti kita semua masuk liang kubur, pahala itu akan tetap terus mengalir kepada kita. Dan tentu saja tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.
Beberapa hari yang lalu kamimenyampaikan di rubrik ini tentang adanya situs yang berisi e-book kitab-kitab agama Islam yang diwaqafkan oleh saudara-saudara kita. Semua gratis dan boleh diunduh. Ternyata semua itu adalah waqaf mereka. Semoga pahala tetap terus mengalir kepada yang membiayai proyek penerbitan kitab waqaf di internet.
Sekarang bayangkan kalau ada situs seperti itu tapi dalam bahasa Indonesia, bayangkan berapa banyak umat Islam ini yang akan tercerahkan dengan adanya wakaf yang anda lakukan. Anda tinggal duduk enak-enak di rumah, dan pahala akan tetap terus mengalir.
Bagaimana? Anda tertarik? Kenapa tidak segera dicoba? Hubungi kami bila anda tertarik.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau yang dimaksud dengan ‘selain kambing’ adalah sapi, kerbau atau unta, para ulama kebanyakan membolehkannya, walaupun ada perbedaan pendapat.
Tetapi kalau maksudnya adalah aqiqah diganti dengan sedekah dengan uang atau dengan membagi-bagi makanan kepada fakir miskin, seluruh ulama sepakat menolak kalau masih mau disebut aqiqah. Sebab yang dimaksud dengan aqiqah pada hakikatnya adalah menyembelih hewan.
Karena pada dasarnya yang dimaksud dengan aqiqah sebagaimana yang didefinisikan, bahwa yang dimaksud dengan aqiqah itu adalah :
مَا يُذَكَّى عَنِ الْمَوْلُودِ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى بِنِيَّةٍ وَشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ
Hewan yang disembelih atas seorang bayi yang lahir sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dengan niat dan syarat-syarat tertentu.
Sudah menjadi ketentuan bahwa aqiqah hanya boleh dengan cara menyembelih hewan saja, tidak boleh dalam bentuk yang lain, seperti beli daging mentah lalu dimasak dan dihidangkan dalam jamuan makan, dengan niat aqiqah.
Bila caranya seperti itu, namanya bukan aqiqah dan tentu saja tidak sah hukumnya. Walau pun secara pahala sedekah tetap bermanfaat, tetapi cara seperti ini tentu bukan ritual ibadah aqiqah.
Contoh Aslinya Kambing
Kalau kita merunut nash aslinya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika menyembelih hewan aqiqah untuk kedua cucunya, memang yang beliau sembelih itu kambing.
عَقَّ النَّبِيُّ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ كَبْشاً كَبْشاً
Rasulullah SAW menyembelihkan untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kambing kibas. (HR. Bukhari)
Bolehkah Dengan Selain Kambing?
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengganti kambing dengan hewan lain. Hal itu mengingat bahwa contoh yang ditemukan dari Rasulullah SAW memang dengan menyembelih kambing.
Akan tetapi apakah contoh dari Nabi SAW itu merupakan syarat dan ketentuan, ataukah menjadi batas minimal, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Umumnya para ulama membolehkan penyembelihan aqiqah dengan selain kambing, asalkan dari jenis hewan sebagaimana qurban, yaitu an-na’am, seperti unta, sapi, atau kerbau. Namun ada sebagian ulama yang membatasi hanya dibenarkan dengan penyembelihan kambing saja.
1. Jumhur Ulama
Pendapat yang membolehkan beraqiqah dengan selain kambing merupakan pendapat jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, As-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah. Sedangkan di kalangan mazhab Al-Malikiyah, ada perbedaan riwayat antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Namun yang lebih rajih, mazhab ini pun membolehkannya.
Mereka umumnya sepakat dibenarkannya penyembelihan aqiqah dengan selain kambing, asalkan masih dalam jenis hewan sembelihan untuk peribadatan, seperti sapi, kerbau atau unta.
Di antara dasarnya karena sapi, kerbau atau unta juga merupakan hewan yang biasa digunakan untuk ibadah, yaitu untuk qurban dan hadyu. Bahkan sapi dan unta secara ukuran lebih besar dari kambing, dan tentunya harganya lebih mahal.
Oleh karena itu, tidak mengapa bila menyembelih aqiqah dengan hewan yang lebih besar dan lebih mahal harganya, selama masih termasuk hewan persembahan.
Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:
مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari)
Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing.
Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan unta. Dari Al-Hasan, dia berkata bahwa Anas bin Malik radhiyallahuanhu menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya.
Hal itu juga dilakukan oleh shahabat yang lain, yaitu Abu Bakrah radhiyallahuanhu. Beliau pernah menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya.
2. Pendapat Sebagian Ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya boleh dengan kambing dan tidak boleh dengan sapi, kerbau atau unta.
Diantara yang berpendapat seperti itu adalah sebagian ulama mazhab Al-Malikiyah dan Ibnu Hazm yang mewakili madzhab Dzahiri, dimana keduanya mengacu kepada ijtihad Aisyah radhiyallahuanha.
Sebagaimana disebukan di atas, ada perbedaan riwayat di kalangan mazhab Al-Malikiyah, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Dan pendapat yang lebih lemah mensyaratkan aqiqah dengan kambing.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidaklah sah aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing, baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.
Ibnul Qayyim menceritakan, bahwa telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah SAW.
Lalu apa dasar mereka tidak membolehkan beraqiqah kecuali dengan kambing?
Di antara landasannya adalah ijtihad dari Aisyah ummul mukminin radhiyallahuanha, sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:
قِيْلَ لِعَائِشَةَ : ياَ أُمَّ المـُؤْمِنِين عَقَّى عَلَيْهِ أَوْ قَالَ عَنْهُ جُزُورًا؟ فَقَالَتْ : مَعَاذَ اللهِ ، وَلَكْن مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ شَاتاَنِ مُكاَفِأَتَانِ
Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain, dari ‘Atha radhiallahuanhu, katanya:
قاَلَتْ اِمْرَأُةٌ عِنْدَ عَائِشَة لَوْ وَلَدَتْ اِمْرَأَة فُلاَن نَحَرْناَ عَنْهُ جُزُورًا؟ قَالَتْ عَائِشَة : لاَ وَلَكِن السُّنَّة عَنِ الغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ
Seorang wanita berkata di hadapan ‘Aisyah: “Seandainya seorang wanita melahirkan fulan (anak laki-kaki) kami menyembelih seekor unta.” Berkata ‘Aisyah: “Jangan, tetapi yang sesuai sunah adalah buat seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ishaq bin Rahawaih)
Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah SAW telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.
Lepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun yang penting untuk dipahami adalah bahwa ritual penyembelihan hewan aqiqah itu hukumnya bukan kewajiban. Apalagi bila seseorang tidak memiliki dana yang cukup. Maka bila sudah lewat waktunya, tidak ada beban yang harus ditanggung sebagai hutang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini.
Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)
عَقَّ رَسُولُ اللهِ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)
Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.
Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja. [1]
Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.
Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.[2]
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas.
Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu. [3]
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja.
Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.
Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat matahari terbit.
Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.
Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan hewan udhiyah.
Para ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran bayi ikut dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh pada hari berikutnya.
Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi adalah keesokan harinya atau sehari setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari pertama adalah Rabu, hari kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima Ahad, hari keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa.
Maka waktu untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari Selasa, yaitu hari yang sama dengan hari kelahiran bayi, seminggu kemudian.
Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa dini hari jam 02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa.
Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama adalah Selasa, hari kedua Rabu, hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari keenam Ahad, dan hari ketujuh adalah Senin.
Maka hewan aqiqah disembelih pada hari Senin dan bukan hari Selasa.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Tabel
Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan dari keduanya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
HARI | Malikiyah | Ibnu Hazm |
Selasa | Hari 0 : LAHIR | Hari 1 : LAHIR |
Rabu | Hari 1 | Hari 2 |
Kamis | Hari 2 | Hari 3 |
Jumat | Hari 3 | Hari 4 |
Sabtu | Hari 4 | Hari 5 |
Ahad | Hari 5 | Hari 6 |
Senin | Hari 6 | Hari 7 : AQIQAH |
Selasa | Hari 7 : AQIQAH | – |
Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya berbeda. Dan sayangnya tidak ada dalil yang qath’i dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang contoh penghitungannya. Sehingga terjadi peluang perbedaan pendapat dalam cara penghitungannya.
Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah bukan pada resepsi acaranya, melainkan pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting penyembelihannya itu sendiri. Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih hewan dan bukan pesta.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengganti kambing dengan hewan lain dalam syariat aqiqah. Sebab nash yang kita dapat umumnya hanya sebatas kambing saja. Barangkali karena selama ini kurang banyak mendapatkan referensi syariah.
Namun kalau kita telurusi lebih jauh dalam kitab-kitab fiqih klasik, ternyata kita menemukan adanya dalil tentang menyembelih aqiqah dengan unta dan bukan kambing. Sehingga umumnya para ulama membolehkan aqiqah bukan dengan kambing, asalkan dari jenis hewan sebagaimana qurban, yaitu an-na’am, seperti unta, sapi, dan kambing.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, As-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah. Sedangkan di kalangan mazhab Al-Malikiyah, ada perbedaan riwayat antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Namun yang lebih rajih, mazhab ini pun membolehkannya.
Mereka umumnya sepakat dibenarkannya penyembelihan aqiqah dengan selain kambing, yaitu sapi atau unta.
Di antara dasarnya karena sapi dan unta juga merupakan hewan yang biasa digunakan untuk ibadah, yaitu untuk qurban dan hadyu. Bahkan sapi dan unta secara ukuran lebih besar dari kambing, dan tentunya harganya lebih mahal. Oleh karena itu, tidak mengapa bila menyembelih aqiqah dengan hewan yang lebih besar dan lebih mahal harganya, selama masih termasuk hewan persembahan.
Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:
مَعَ الْغُلامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari)
Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing.
Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan unta. Dari Al-Hasan, dia berkata bahwa Anas bin Malik radhiyallahuanhu menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya.
Hal itu juga dilakukan oleh shahabat yang lain, yaitu Abu Bakrah radhiyallahuanhu. Beliau pernah menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah umumnya membolehkan beberapa orang berpatungan untuk menyembelih hewan dalam rangka taqarrub kepada Allah dengan bentuk yang berbeda-beda. Yang penting masih dalam rangka taqarrub dan tidak boleh bila niatnya di luar itu.
Al-Kasani (w. 587 H) menuliskan masalah itu di dalam kitabnya, Badai Ash-Shanai’ sebagai berikut :
ولو أرادوا القربة الأضحية أو غيرها من القرب أجزأهم سواء كانت القربة واجبة أو تطوعا أو وجبت على البعض دون البعض وسواء اتفقت جهات القربة أو اختلفت بأن أراد بعضهم الأضحية وبعضهم جزاء الصيد وبعضهم هدي الإحصار وبعضهم كفارة شيء أصابه في إحرامه وبعضهم هدي التطوع وبعضهم دم المتعة والقران وهذا قول أصحابنا الثلاثة
Bila mereka berniat qurbah dengan qurban atau yang lainnya maka hukumnya sah, baik yang hukumnya wajib ataupun sunnah, atau hukumnya untuk sebagian mereka wajib dan untuk sebagiannya lainnyasunnah, baik jenis qurbahnya sama atau berbeda. Misalnya sebagian ada yang niat qurban, sebagian niat berburu, hadyu ihshar, kaffarah atas pelanggaran ihram, hadyu tatahawwu’, dam tamattu’ dan qiran. Dan ini pendapat tiga ulama kami. [1]
b. Mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Demikian juga mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah, keduanya sama-sama membolehkan aqiqah dengan sapi, termasuk bila hanya dari salah satu peserta patungan. Bahkan dalam mazhab ini, niat orang-orang yang berpatungan itu tidak harus dalam rangka taqarrub kepada Allah.
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama besar di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan di dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
وتجزئ البدنة عن سبعة وكذا البقرة سواء كانوا أهل بيت أو بيوت وسواء كانوا متقربين بقربة متفقة أو مختلفة واجبة أو مستحبة أم كان بعضهم يريد اللحم ويجوز أن يقصد بعضهم التضحية وبعضهم الهدي
Boleh menyembelih unta atau sapi untuk 7 orang, baik mereka satu rumah atau beberapa rumah, baik semuanya berniat ibadah yang sama, atau ibadah yang berbeda-beda, baik hukumnya wajib atau mustahab, baik sebagiannya hanya butuh daging. Dan boleh bila sebagian berniat qurban dan yang lain hadyu.[2]
2. Pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiri: Tidak Boleh
Sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya boleh dengan kambing dan tidak boleh dengan sapi atau unta, di antaranya sebagian ulama mazhab Al-Malikiyah, Ibnu Hazm yang mewakili madzhab Azh-Zhahiri, dimana keduanya mengacu kepada ijtihad Aisyah radhiyallahuanha.
Sebagaimana disebukan di atas, ada perbedaan riwayat di kalangan mazhab Al-Malikiyah, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Dan pendapat yang lebih lemah mengatakan tidak boleh beraqiqah dengan selain kambing.
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhalla tentang masalah ini sebagai berikut :
ولا يجزئ في العقيقة إلا ما يقع عليه اسم شاة – إما من الضأن وإما من الماعز فقط – ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الإبل ولا من البقر الإنسية، ولا من غير ذلك
Tidak sah aqiqah kecuali dengan hewan yang termasuk syah, baik berupa domba ataupun kambing. Dan tidak sah kecuali dengan apa yang kami sebutkan, maka unta atau sapi tidak sah dan yang lainnya juga. [3]
Ibnul Qayyim menceritakan, bahwa telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah SAW.
Lalu apa dasar mereka tidak membolehkan beraqiqah kecuali dengan kambing? Di antara landasannya sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:
قِيْلَ لِعَائِشَةَ : ياَ أُمَّ المـُؤْمِنِين عَقَّى عَلَيْهِ أَوْ قَالَ عَنْهُ جُزُورًا؟ فَقَالَتْ : مَعَاذَ اللهِ ، وَلَكْن مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ شَاتاَنِ مُكاَفِأَتَانِ
Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain, dari ‘Atha radhiallahuanhu, katanya:
قاَلَتْ اِمْرَأُةٌ عِنْدَ عَائِشَة لَوْ وَلَدَتْ اِمْرَأَة فُلاَن نَحَرْناَ عَنْهُ جُزُورًا؟ قَالَتْ عَائِشَة : لاَ وَلَكِن السُّنَّة عَنِ الغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ
Seorang wanita berkata di hadapan ‘Aisyah: “Seandainya seorang wanita melahirkan fulan (anak laki-kaki) kami menyembelih seekor unta.” Berkata ‘Aisyah: “Jangan, tetapi yang sesuai sunah adalah buat seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ishaq bin Rahawaih)
Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata:
”Rasulullah SAW telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.[4]
Kesimpulan
Kebolehan aqiqah dengan selain kambing disepakati oleh jumhur ulama baik mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Al-Malikiyah pada salah satu riwayat, mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanabilah. Bahkan walaupun bukan dengan sapi atau unta yang utuh, cukup dengan 1/7-nya saja sudah sah.
Yang tidak membolehkan adalah Ibnu Hazm mewakili mazhab Azh-Zhihiriyah dan sebagian riwayat mazhab Al-Malikiyah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’, jilid 5 hal. 71
[2] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 8 hal. 397
[3] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 7 hal. 523
[4] Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Umumnya para ulama menegaskan bahwa mereka yang disembelihkan aqiqah adalah bayi yang baru lahir, dengan maksimal sampai dia mengalami musia baligh. Sedangkan menyembelih aqiqah untuk orang yang sudah baligh, apalagi yang sudah mencapai usia dewasa, maka dalam hal ini pendapat para ulama terpecah.
Setidaknya memang ada dua pendapat dalam hal ini, dimana para ulama, yang levelnya sudah sampai ke tingkat mujtahid betulan, masih berbeda pendapat. Kalau kita buka kitab fiqih, maka kita akan mendapatkan rincian perbedaan pendapat itu.
1. Masyru’
Sebagian ulama memandang bahwa mengaqiqahi diri sendiri adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ar-Rafi’i, Al-Qaffal, Muhammad bin Sirin, Atha’ dan Al-Hasan Al-Bashri.
Ar-Rafi’i, ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi’iyah mengatakan apabila seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu. Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, tidak mengapa.
Pendapat Ar-Rafi’i ini juga dikuatkan oleh pendapat Al-Qaffal, yang juga merupakan salah seorang dari fuqaha mazhab Asy-Syafi’iyah. Beliau ikut membenarkan hal itu meski tidak mewajibkan.[1]
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri bahwa beliau berfatwa : apabila seorang ayah belum menyembelihkan hewan aqiqah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti anaknya itu dewasa dan punya rejeki, dipersilahkan bila ingin menyembelih hewan aqiqah yang diniatkan untuk dirinya sendiri. Fatwa ini bisa kita temukan tertulis di dalam kitab Al-Muhalla.[2]
Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani diriwayatkan bahwa Muhammad Ibnu Sirin pernah berfatwa : Seandainya saya tahu bahwa saya belum disembelihkan aqiqah, maka saya akan melakukannya sendiri.[3]
‘Atha’ berkata bahwa tidak mengapa bila seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
Di antara dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ بِنَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
Bahwa Nabi SAW menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. (HR. Al-Bazzar)
2. Tidak Masyru’
Ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa hal itu tidak perlu dilakukan hal itu.
Alasannya, karena syariat dan perintah untuk menyembelih hewan aqiqah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakannya meski dirinya mampu ketika sudah dewasa.
Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr. [4]
Di antara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menyembelih aqiqah untuk diri beliau, meski sejak kecil tidak pernah disembelihkan aqiqah. Begitu juga beliau tidak pernah memerintahkan para shahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan aqiqah agar masing-masing menyembelih aqiqah untuk diri mereka.
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para kritikus hadits dianggap sebagai hadits yang lemah dan menuai hujan kritik. Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
Al-Hafidz Ibnu Hajah Al-Asqalani menyebutkan hadits ini matruk. As-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri, asalkan hadits itu shahih. Masalahnya, menurut beliau, hadits itu sendiri bermasalah. Asy-Syaukani menyebutkan hadits itu mungkar.
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa hadits ini batil.
وأما الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عننفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل قال البيهقي هو حديث منكر
Namun mereka yang membela pendapat dibolehkannya menyembelih hewan aqiqah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka menyebutkan bahwa hadits yang dipermasalahkan tetap shahih, karena ada periwayatan lewat jalur lain yang dishahihkan oleh para ulama.
Dalam hal ini, Al-Haitsami menyebutkan di dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, bahwa hadits ini memang punya dua jalur periwayatan. Pertama adalah jalur yang banyak didhaifkan oleh para ulama, yaitu lewat jalur Abdullah bin Al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang diriwayatkan secara marfu. Kedua, adalah jalur yang shahih dan tersambung kepada Anas, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdillah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dan Anas.[5]
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari jilid 9 hal. 594-595
[2] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bin Atsar, jilid 6 hal. 240
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 489
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 8 hal. 646
[5] Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawaid, jilid 4 hal. 59
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meskipun jumhur ulama sepakat membolehkan adanya persekutuan dalam penyembelihan hewan qurban, namun menetapkan syarat dan ketentuannya ternyata berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
1. Mazhab Al-Hanafiyah : Boleh Asalkan Masih Dalam Ritual Ibadah
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang membolehkan, asalkan semua berniat sama-sama menyembelih dalam konteks ibadah. Dengan kata lain, semua berniat untuk bertaqarrub dan tidak boleh tercampur dengan niat-niat lain di luar kerangka taqarrub.
Yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam Abu Hanifah dan kedua murid beliau, Abu Yusuf dan Muhammad.
Contoh penyembelihan dalam rangka taqarrub misalnya qurban, aqiqah, membayar dam tamattu’, dam qiran, kaffarah sumpah, kaffarah dam karena pelanggaran melewati miqat, dan seterusnya.
Maka dalam pandangan mazhab ini, selama para peserta punya niat yang tidak keluar dari ruang lingkup penyembelihan di atas, maka hukumnya dibolehkan.
Namun diriwayatkan bahwa Abu Hanifah meski membolehkan, namun beliau tetap memakruhkannya. Beliau menyatakan seandainya semua punya satu niat yang sama, yaitu menyembelih qurban, maka lebih beliau sukai.
2. Mazhab Asy-Syafi’iyah & Al-Hanabilah
Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dalam hal ini berbeda dengan mazhab Al-Hanafiyah. Dalam pandangan kedua mazhab ini, niat para peserta tidak harus sama-sama dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.
Boleh saja niat dari masing-masing peserta saling berbeda-beda, sebagian bertaqarrub dan sebagiannya lainnya bukan untuk taqarrub.
Misalnya dari tujuh orang itu, ada yang berniat menyembelih sebagai qurban, aqiqah, kaffarat, tetapi ada juga yang niatnya hanya ingin makan-makan sekeluarga, bahkan niatnya cuma untuk dijual. Bila kesemuanya bersekutu dan menyembelih satu ekor hewan, maka semuanya sah sesuai dengan niat masing-masing.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meskipun jumhur ulama sepakat membolehkan adanya persekutuan dalam penyembelihan hewan qurban, namun menetapkan syarat dan ketentuannya ternyata berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
Sebagian ulama mensyaratkan sharing satu sapi atau unta untuk beberapa niat yang berbeda, asalkan masih dalam satu kerangka besar ibadah. Sementara sebagian ulama lain membolehkan niat tiap peserta itu berbeda-beda. Tidak mengapa yang satu niat ibadah dan lain niat sekedar makan daging atau berjualan daging.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanabilah umumnya membolehkan adanya sharing satu ekor sapi dengan niat yang berbeda-beda. Syaratnya adalah asalkan sama-sama menyembelih dengan niat taqarrub dan tidak boleh tercampur dengan niat-niat lain di luar kerangka taqarrub. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan kedua murid beliau, Abu Yusuf dan Muhammad.
Contoh penyembelihan dalam rangka taqarrub misalnya qurban, aqiqah, membayar dam tamattu’, dam qiran, kaffarah sumpah, kaffarah dam karena pelanggaran melewati miqat, dan seterusnya.
Maka dalam pandangan mazhab ini, selama para peserta punya niat yang tidak keluar dari ruang lingkup penyembelihan di atas, maka hukumnya dibolehkan.
Namun diriwayatkan bahwa Abu Hanifah meski membolehkan, namun beliau tetap memakruhkannya. Beliau menyatakan seandainya semua punya satu niat yang sama, yaitu menyembelih qurban, maka lebih beliau sukai. [1]
2. Mazhab Asy-Syafi’iyah & Al-Hanabilah
Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dalam hal ini berbeda dengan mazhab Al-Hanafiyah. Dalam pandangan kedua mazhab ini, niat para peserta tidak harus sama-sama dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama besar di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan di dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
وتجزئ البدنة عن سبعة وكذا البقرة سواء كانوا أهل بيت أو بيوت وسواء كانوا متقربين بقربة متفقة أو مختلفة واجبة أو مستحبة أم كان بعضهم يريد اللحم ويجوز أن يقصد بعضهم التضحية وبعضهم الهدي
Boleh menyembelih unta atau sapi untuk 7 orang, baik mereka satu rumah atau beberapa rumah, baik semuanya berniat ibadah yang sama, atau ibadah yang berbeda-beda, baik hukumnya wajib atau mustahab, baik sebagiannya hanya butuh daging. Dan boleh bila sebagian berniat qurban dan yang lain hadyu. [2]
Boleh saja niat dari masing-masing peserta saling berbeda-beda, sebagian bertaqarrub dan sebagiannya lainnya bukan untuk taqarrub.[3]
Misalnya dari tujuh orang itu, ada yang berniat menyembelih sebagai qurban, aqiqah, kaffarat, tetapi ada juga yang niatnya hanya ingin makan-makan sekeluarga, bahkan niatnya cuma untuk dijual. Bila kesemuanya bersekutu dan menyembelih satu ekor hewan, maka semuanya sah sesuai dengan niat masing-masing.
Demikian jawaban singkat ini semoga menjadi jelas.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Ibnu Abdin, Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 5 hal, 207
[2] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 8 hal. 397
[3] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 11 hal. 97-118
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau merujuk aslinya, memang yang dicontohkan dalam menyembelih aqiqah itu hanya kambing dan bukan sapi. Namun apakah boleh menyembelih sapi sebagai ganti kambing, para ulama berbeda pendapat.
Dalam hal ini mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa jumlah kambing yang disembelih berbeda jumlahnya berdasarkan jenis kelamin bayi. Bila bayi itu laki-laki, maka disunnahkan untuk menyembelih dua ekor, sedangkan bila bayi itu perempuan, maka cukup satu ekor saja.
Pendapat ini didasarkan pada hadits nabawi berikut ini :
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Barang siapa yang lahir anaknya dan ingin menyembelih untuk kelahiran anaknya, hendaknya dia laksanakan, dua ekor kambing yang setara untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (HR. Abu Daud)
Maksud dua kambing yang setara (شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ) dijelaskan oleh Zaid bin Aslam, yaitu dua kambing yang serupa (مُتَشَابِهَتَانِ) yang disembelih bersamaan, tidak ditunda penyembelihan salah satu dari keduanya.
Sedangkan al-Imam Ahmad menerangkan bahwa maknanya dua kambing yang hampir sama (مُتَقَارِبَتَانِ). Al-Imam al-Khaththabi menjelaskan, yaitu setara umurnya.
Bolehkah Kambing Aqiqah Diganti Dengan Sapi?
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengganti kambing dengan hewan lain. Namun secara umum kebanyakan membolehkan asalkan dari jenis hewan sebagaimana qurban, yaitu an-na’am, seperti unta, sapi, dan kambing.
1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya boleh dengan kambing dan tidak boleh dengan sapi atau unta, di antaranya sebagian ulama mazhab Al-Malikiyah, Ibnu Hazm yang mewakili madzhab Dzahiri, dimana keduanya mengacu kepada ijtihad Aisyah radhiyallahuanha.
Sebagaimana disebukan di atas, ada perbedaan riwayat di kalangan mazhab Al-Malikiyah, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Dan pendapat yang lebih lemah mengatakan tidak boleh beraqiqah dengan selain kambing.
Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidaklah sah aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing, baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.
Ibnul Qayyim menceritakan, bahwa telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah SAW.
Lalu apa dasar mereka tidak membolehkan beraqiqah kecuali dengan kambing?
Di antara landasannya sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:
قِيْلَ لِعَائِشَةَ : ياَ أُمَّ المـُؤْمِنِين عَقَّى عَلَيْهِ أَوْ قَالَ عَنْهُ جُزُورًا؟ فَقَالَتْ : مَعَاذَ اللهِ ، وَلَكْن مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ شَاتاَنِ مُكاَفِأَتَانِ
Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain, dari ‘Atha radhiallahuanhu, katanya:
قاَلَتْ اِمْرَأُةٌ عِنْدَ عَائِشَة لَوْ وَلَدَتْ اِمْرَأَة فُلاَن نَحَرْناَ عَنْهُ جُزُورًا؟ قَالَتْ عَائِشَة : لاَ وَلَكِن السُّنَّة عَنِ الغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ
Seorang wanita berkata di hadapan ‘Aisyah: “Seandainya seorang wanita melahirkan fulan (anak laki-kaki) kami menyembelih seekor unta.” Berkata ‘Aisyah: “Jangan, tetapi yang sesuai sunah adalah buat seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ishaq bin Rahawaih)
Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah SAW telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.
2. Pendapat Yang Membolehkan : Jumhur Ulama
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, As-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah. Sedangkan di kalangan mazhab Al-Malikiyah, ada perbedaan riwayat antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Namun yang lebih rajih, mazhab ini pun membolehkannya.
Mereka umumnya sepakat dibenarkannya penyembelihan aqiqah dengan selain kambing, yaitu sapi atau unta.
Di antara dasarnya karena sapi dan unta juga merupakan hewan yang biasa digunakan untuk ibadah, yaitu untuk qurban dan hadyu. Bahkan sapi dan unta secara ukuran lebih besar dari kambing, dan tentunya harganya lebih mahal. Oleh karena itu, tidak mengapa bila menyembelih aqiqah dengan hewan yang lebih besar dan lebih mahal harganya, selama masih termasuk hewan persembahan.
Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:
مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari)
Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing.
Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan unta. Dari Al-Hasan, dia berkata bahwa Anas bin Malik radhiyallahuanhu menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya.
Hal itu juga dilakukan oleh shahabat yang lain, yaitu Abu Bakrah radhiyallahuanhu. Beliau pernah menyembelih seekor unta untuk aqiqah anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya.
Apakah Satu Sapi Bisa Dihitung Untuk Tujuh Bayi Sebagaimana Halnya Qurban?
Pertanyaan ini juga menarik untuk dikaji, yaitu bolehkah satu ekor sapi disembelih untuk aqiqah tujuh orang bayi, sebagaimana yang dibolehkan dalam qurban.
Sebenarnya kita tidak menemukan langung hadits yang menegaskan kebolehan atau larangannya. Namun kita menemukan dalam kitab-kitab para ulama yang sedikit membahas hal ini.
Disebutkan bahwa umhur ulama sepakat membolehkan adanya persekutuan dalam penyembelihan hewan qurban, namun menetapkan syarat dan ketentuannya ternyata berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Dibolehkan menyembelih satu sapi untuk beberapa niat, asalkan sama-sama menyembelih dengan niat taqarrub dan tidak boleh tercampur dengan niat-niat lain di luar kerangka taqarrub. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan kedua murid beliau, Abu Yusuf dan Muhammad.
Contoh penyembelihan dalam rangka taqarrub misalnya qurban, aqiqah, membayar dam tamattu’, dam qiran, kaffarah sumpah, kaffarah dam karena pelanggaran melewati miqat, dan seterusnya.
Maka dalam pandangan mazhab ini, selama para peserta punya niat yang tidak keluar dari ruang lingkup penyembelihan di atas, maka hukumnya dibolehkan.
Namun diriwayatkan bahwa Abu Hanifah meski membolehkan, namun beliau tetap memakruhkannya. Beliau menyatakan seandainya semua punya satu niat yang sama, yaitu menyembelih qurban, maka lebih beliau sukai.
2. Mazhab Asy-Syafi’iyah & Al-Hanabilah
Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dalam hal ini berbeda dengan mazhab Al-Hanafiyah. Dalam pandangan kedua mazhab ini, niat para peserta tidak harus sama-sama dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.
Boleh saja niat dari masing-masing peserta saling berbeda-beda, sebagian bertaqarrub dan sebagiannya lainnya bukan untuk taqarrub.
Misalnya dari tujuh orang itu, ada yang berniat menyembelih sebagai qurban, aqiqah, kaffarat, tetapi ada juga yang niatnya hanya ingin makan-makan sekeluarga, bahkan niatnya cuma untuk dijual. Bila kesemuanya bersekutu dan menyembelih satu ekor hewan, maka semuanya sah sesuai dengan niat masing-masing.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini.
Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)
عَقَّ رَسُولُ اللهِ r عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)
Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.
Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.[1]
Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.
Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.[2]
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas.
Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu.[3]
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja.
Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.
Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat matahari terbit.
Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.
Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan hewan udhiyah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Hasyiyatu Al-Kharsyi, jilid 3 hal. 410
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 489
[3] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8 hal. 661
Copyright 2020 – Jasa Aqiqah – All Right Reserved
About – Privacy Policy – Terms Of Use – Disclaimer – Affiliates – Contact